25 Agustus 2008

Menilik Ulang Gerakan Mahasiswa

Ivan Andimuhtarom

Kalimat-kalimat yang kadangkala sloganistis masih terus dipercaya melekat dalam diri gerakan mahasiswa. Semisal agent of change, iron stock atau yang lainnya. Gelaran seperti itu, hendaknya bukan hanya sebuah teriakan kosong tanpa makna dan aplikasi. Gerakan mahasiswa secara organis harus terus berfikir tentang efektivitas strategi dan taktis [stratak] gerakan, terutama ketika struktur sosial, politik dan ekonomi bangsa tengah mengalami perubahan seperti saat ini.

Gerakan mahasiswa dalam perjalanannya selama berpuluh tahun ini telah memberikan kontribusi riil bagi bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde Baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Pada awalnya, gerakan-gerakan mahasiswa secara umum mengedepankan areal “intelektual” dalam mengaspirasikan dan mewujudkan gerakannya. Gerakan intelektual ini tercermin dari kegiatan yang selalu mengacu kepada kedewasaan berpikir dan penggunaan data objektif dalam menanggapi masalah. Diskusi-diskusi kritis tentang isu dan wacana menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian para aktivis gerakan mahasiswa ini. Perkembangan lanjutan dari dialektika wacana tersebut kemudian berkembang pada ruang-ruang praksis sebagai aksi nyata dalam merespon problematika kebangsaan dan kemasyarakatan.

Tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap persoalan masyarakat menurut Arbi Sanit (1985) disebabkan paling tidak oleh lima hal. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa memiliki pandangan cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai golongan masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda lainnya. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian berbagai permasalahan masyarakat memungkinkan mereka memasuki forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karir sesuai dengan keahliannya.

Pada proses menuju kontribusi real ini, terdapat beberapa langkah praktis yang berjenjang. Pertama afiliasi, yaitu masuk dalam salah satu atau beberapa jejaring gerakan mahasiswa. Sebagai contoh adalah ikut serta menjadi bagian dari gerakan ekstra kampus seperti KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) atau gerakan intra kampus semisal BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Kedua partisipasi. Dalam konteks nyata, setelah seseorang tergabung dalam sebuah organisasi, maka secara otomatis dia harus turut serta dalam kegiatan organsasi tersebut. Terakhir, kontribusi. Mulailah kita dapat memberikan sumbangan (berupa harta, tenaga dan pemikiran sekecil apapun ukurannya) kita baik kepada organisasi maupun Indonesia pada umumnya. Logika ini berjalan pada hampir semua gerakan mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus.

Saat ini, harus diakui bahwa aksi turun ke jalan yang pernah meruntuhkan rezim otoriter Suharto dan Abdurrahman Wahid mulai tidak didengarkan oleh pemerintah. Aksi-aksi tersebut mengalami polarisasi gerakan. Tidak didapati lagi gerakan serentak oleh elemen-elemen mahasiswa di Indonesia. Aksi-aksi biasanya hanya dilakukan secara parsial pada wilayah tertentu saja. Lihatlah aksi-aksi BEM yang kini pesertanya biasanya tidak lebih dari 100 orang. Lihat bagaimana reaksi pemerintah menanggapi arus demonstrasi ”keci” tersebut. Semua itu hanya usikan kecil yang dipandang tidak akan ”melukai” pemerintah, dan akhirnya dibiarkan begitu saja. Di sisi lain, pemerintah mulai menutup alat indranya untuk mengetahui kesengsaraan rakyat yang diaspirasikan mahasiswa.

Apakah kita sekarang kehilangan format gerakan yang mumpuni? Gerakan mahasiswa mulai kendur, ruh-ruh perjuangan mulai hilang. Kita kebingungan karena pola-pola lama semisal demonstrasi sudah tidak populer, justru memberikan citra negatif karena masyarakat sudah latah dengan anarkhisme demonstrasi. Apakah semua itu karena keran demokrasi yang telah dibuka lebar ini? Sehingga kekritisan mahasiswa mengendap, tiarap, dan mati suri? Mungkin semua ini adalah pertanyaan retoris bagi para aktivis gerakan yang masih memikirkan generasi masa depan.

Sebenarnya, analisa mengenai polarisasi ini telah muncul pasca keruntuhan Suharto, hampir tiap elemen akhirnya memilih jalannya sendiri untuk diperjuangkan. Hasilnya, justru tak ada yang cukup signifikan. Semua sibuk dengan agenda parsial yang kadang tidak populer.

Faktor penyebab kelesuan gerakan mahasiswa pasca reformasi ini adalah tidak adanya sinkronisasi agenda gerakan. Faktor-faktor penyebab khusus yang melatarbelakangi ketidaksinkronan gerakan mahasiwa saat ini antara lain adalah idealisme gerakan mahasiswa yang berbeda-beda. Idealisme ini kemudian melahirkan cara pandang dan penyikapan yang berbeda dalam menghadapai masalah kebangsaan. Karena isu yang diangkat tidak sama, mereka cenderung sporadis dalam melaksanakan agenda gerakannya. Yang agak parah adalah egosentrisme gerakan, yang membuat fanatisme berlebih, bahkan justru mengintimidir kelompok gerakan lain. Pada akhirnya, perbedaan kepentingan tersebut justru menimbulkan ekses negative dengan tidak terwujudnya agenda-agenda perbaikan Indonesia.

Namun, jangan ada stigma negative terlebih dahulu dalam memandang gerakan mahasiswa saat ini. Mahasiswa -pada umumnya- seharusnya tidak memandang perbedaan tersebut sebagai halangan untuk berkontribusi real kepada bangsa Indonesia. Karena, secara langsung maupun tidak langsung, menjadi bagian dari gerakan mahasiswa merupakan langkah awal menjadi bagian dari perbaikan Indonesia di masa mendatang.

Maka, babak baru sejarah gerakan mahasiswa harus segera diupayakan. Tak lain dan tak bukan, nasib bangsa ini tergantung kepada generasi mudanya, mahasiswa. Mulai saat ini, mulailah melakukan sesuatu untuk Indonesia walau sekecil apapun bentuknya. BerAFILIASIlah, kemudian berPARTISIPASI dan akhirnya kalian akan berKONTRIBUSI untuk Indonesia. Wahai para mahasiswa, katakan dan tunjukkan bahwa kalian bukan sekedar agent of change atau iron stock saja, melainkan director of change bagi perbaikan di Indonesia ini! HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT! MERDEKA!!!