27 Agustus 2008

KONSTRUK PEMIKIRAN
Ivan Andimuhtarom
(Tulisan ini hanya bahan renungan bagi kita yang sering “berpikir”.
Tindakan konkret itu perlu, tetapi pahamilah maknanya agar dirimu dan orang yang merasakan dampak tindakanmu itu mendapatkan pemaknaan yang berarti)

Mengingat sejarah Negara Israel, maka kita akan menemukan fakta bahwa persiapan yang dilakukan orang-orang Yahudi sangat lama. Pada tahun 1882, Dr. Theodor Herzl (tokoh Yahudi yang sangat berpengaruh) menyusun doktrin Zionisme, yang kemudian disistematiskan dalam bukunya “Der Judenstaat” (Negara Yahudi) pada tahun 1896. Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia Pertama di Basel, Swiss tahun 1897. Nah, baru pada 15 Mei 1948-lah Negara Israel dapat berdiri.
Sebenarnya, pendirian Negara Israel ini hanyalah rangkaian besar dari “Program Asli yang Unik” yang terlebih dahulu telah disusun oleh Tasfaac (tokoh Yahudi) pada tahun 1784. Naskah tersebut berisikan tentang agenda besar kaum Yahudi untuk menguasai dunia. Naskah tentang sebuah hasil pemikiran mengerikan yang nyaris sempurna, manual yang memuat dasar teori, sasaran, metode pencapaiannya, untuk mencapai “Kekuasaan Mendunia Kaum Yahudi”. Naskah ini adalah sebuah pemikiran yang ditulis 100-200 tahun lalu yang di kemudian hari sekitar tahun 1905-an, protocol yang terdiri dari 24 naskah itu diterbitkan di Rusia oleh Prof. Nilus, yang dikenal luas sebagai “The Protocol of The Learned Elders of Zion”.
Sesuatu yang patut kita perhatikan dari perilaku kaum Yahudi adalah tahap perencanaan mereka yang begitu rapi dan tidak tergesa-gesa. Untuk membentuk Israel saja, butuh waktu sekitar 50 tahun persiapan, konsolidasi dan perencanaan-perencanaan ke depan dengan agenda-agenda penaklukan dunia. Saudaraku, yang kita lihat sekarang ini adalah contoh konkrit realisasi program mereka dalam protocol Zionis-nya. Lihatlah media massa dunia yang selalu berpihak dan mengarahkan public dunia untuk mendukung kebijakan-kebijakan bejat Israel atas Rakyat Palestina. Tidak hanya itu, globalisasi yang diarahkan (juga) ke Indonesia ini adalah termasuk agenda besar Yahudi untuk menguasai dunia.
***

Ali ra pernah menyampaikan, kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Sepakat??? Lalu, melihat realitas –hedonisme sebagai dampak dari globalisasi, kurangnya pemikiran kritis mahasiswa dsb- di FISIP tercinta ini, apakah yang dapat kita (BEM) lakukan untuk “menghijaukannya”??? Apa kita hanya akan diam tanpa aksi nyata membangun peradaban mulai dari kampus tercinta ini???
BEM, sebagai mandataris DEMA, secara ideal (disesuaikan dengan konteks ke-Indonesia-an) memiliki dua hal pokok yang harus dilaksanakan. Pertama, masalah tanggungjawab. Karena presiden dipilih oleh “rakyat”, maka ia berkewajiban mengerahkan pembantu-pembantunya (kabinet yang dibentuk) untuk melayani dan menampung aspirasi “rakyat” tersebut. Presiden beserta kabinetnya seharusnya memberikan yang terbaik bagi mahasiswa sehingga suara yang mereka berikan saat pemira (Pemilihan umum raya) tiap tahun sekali itu memiliki arti signifikan bagi mereka. Jika hal tersebut dapat dilakukan, apatisme yang selama ini menjangkiti rekan-rekan mahasiswa kita Insya Allah akan lenyap secara otomatis.
Yang ke dua, ada hak yang dapat dilakukan BEM kepada “rakyat”nya. Ini mutlak dilakukan sebagai representasi kekuatan politik BEM bagi mahasiswa. Hak yang dimaksudkan di sini adalah upaya pengarahan dan pembentukan mahasiswa pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai kebenaran serta identitas ke-mahasiswa-an FISIP secara ideal sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi. Yang harus diperhatikan juga adalah bahwa kebijakan BEM harus sesuai arahan presiden yang disinkronkan dengan pihak dekanat, sehingga tidak terjadi miss communication antara mahasiswa, BEM dan dekanat.
Semua hal ideal di muka bumi ini tidaklah mudah, apalagi jika idealisme itu bersumber dari pribadi, maka ia akan lahir dari subjektifitas pribadi yang mungkin tidak mengakomodir kepentingan dan hak-hak individu lain. Oleh karenanya, secara konkrit, idealisme yang harus mulai dibangun pada tubuh BEM FISIP UNS ini adalah idealisme kolektif yang merangkum tiap individu di dalamnya (walaupun secara de jure, kekuasaan menentukan tujuan terletak pada presiden, dan pengurus lain sebagai pembantu presiden harus taat). Dengan idealisme kolektif ini, maka diharapkan pegangan bagi pengurus BEM akan menjadi jelas sehingga tidak ada yang mempertanyakan hakekat ke-ada-an mereka di BEM. Tidak akan ada lagi pengurus yang menanyakan untuk apa? Harus bagaimana? Apa tugas saya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan dengan tegas, penulis kemukakan, hal mendasar untuk mencapai tingkat itu adalah adanya kepahaman kedudukan secara struktural dan kultural, baik dari “orang tua” maupun “adek-adek” yang menjadi keluarga besar BEM FISIP UNS.
Terkait dengan sejarah Israel, maka BEM juga kiranya perlu belajar banyak untuk membuat targetan dan arahan tentang sasaran dan harapan-harapan yang ingin diraih. Kalau memungkinkan, bahkan sampai pada manual yang memuat dasar teori, sasaran, metode pencapaiannya, seperti yang terjadi pada rencana untuk mencapai “Kekuasaan Mendunia Kaum Yahudi”. Detail mengenai proyeksi masa depan dan proyeksi jangka pendek BEM, setidaknya untuk satu tahun kabinet. Walau akan lebih baik lagi jika proyeksi itu adalah proyeksi jangka panjang yang dapat dilaksanakan step by step oleh generasi penerus pada kepengurusan kabinet mendatang. Hasil besar yang ingin dicapai harus disertai perencanaan yang matang. Seberapa matang perencanaan itu akan mempengaruhi hasil dari realisasi kegiatan yang dilakukan. Dan semua hal tersebut tentunya mensyaratkan hal dasar, yaitu kepahaman akan “tujuan besar akhir” yang hendak dicapai.
Mahasiswa, sebagai intelektual muda (khususnya kita sebagai pengurus BEM), seyogianya memiliki obsesi menjadi generasi terbaik dan mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dengan sudut pandang yang benar. Antisipasi terbaik menghadapi masa depan adalah dengan mendefinisikan diri kita sebagai director of change (pemimpin perubahan) bukan semata agent of change. Seperti yang diungkapkan Thomas Kuhn tentang perubahan social, bahwa perubahan masyarakat selalu diawali dari perubahan PARADIGMA BERPIKIR, demikian juga berlaku untuk BEM FISIP. Jika ia memang mencita-itakan sebuah kondisi ideal sebagai institusi atau secara individu untuk berpartisipasi dan berkontribusi bagi masyarakat luas, saat ini ataupun nanti, maka paradigma berpikir yang dibangun juga harus diubah.
Secara konkrit, saat ini yang ada adalah pikiran individu untuk menginterpretasikan makna, “What is BEM?”. Belum ada kesesuaian yang memadai untuk menyamakan langkah gerak menuju perubahan. Tetapi, lagi-lagi belajar dari Israel (yang terkutuk), kita harus menyiapkan perencanaan yang matang dalam menjalankan program dan misi kita walaupun itu dikatakan hanya sebuah program atau misi kecil. Di sinilah proses pembelajaran kita tentang manajemen dan proses menuju the real director of change. Proses perencanaan tersebut dapat dijadikan sarana pengaktualisasian director of change, bukan sekedar mengekor pada beberapa orang tanpa dirinya sendiri memahami apa yang tengah dia lakukan.
Diskusi, yah, itulah yang mungkin kita butuhkan saat ini, dengan segala keterbatasannya. Namun, bukankah tekad akan mengalahkan segala hambatan? Apa lagi yang kita tunggu? FISIP menanti untuk tidak sekedar kita warnai, tetapi kita hiasi pula. FISIP tak sekedar ingin melihat eksistensi kita, tetapi meminta esensi dari semua yang kita lakukan. FISIP tidak sedang menunggu kita untuk diam dalam ketidakpahaman, tetapi menunggu kita bergerak dengan kepahaman yang matang. Sekali lagi, belajarlah dari kaum paling bejat di dunia, Yahudi.
Selamat berproses atas perjuangan hidup yang telah menanti satu langkah di depanmu, bukan nanti saat kau tua, atau bahkan besok. TIDAK! Tetapi SEKARANG!
SEMANGAT SAUDARAKU!!!
AYO MAJUKAN BEM FISIP UNS!!!