22 September 2008

Pindahan...

Rekan-rekan, Ivan pindahan blog lho...

Jadi, kunjungi aja ivanmuhtar.wordpress.com

OK!!

ditunggu partisipasinya..........


Baca Selengkapnya...

06 September 2008

Realitas yang Terpinggirkan


Apa yang harus aku buktikan?
Atau apa yang harus kita semua buktikan?
Bukankah kita semua bukan yang terbaik dari makhluk-makhlukNya??
Lalu, mengapa semua terjadi tanpa adanya konfirmasi?
Apa karena ketidakpahaman bahwa komunikasi adalah penting?
Aku tidak akan bertanya tentang siapa salah siapa benar. Hanya berharap semua akan lebih baik.

Waktu berlalu, dan sejarah terukir oleh subjek-subjek yang siap menerima resiko dalam pergolakan sejarah itu. Dalam realitas, terdapat asumsi yang memungkinkan subjektifitas mengangkahi semua hal di luar sistem berpikir tersebut. Sedangkan fakta -atau lebih kerennya disebut "data"- yang sebenarnya akan menentukan ketepatan seorang individu maupun organisasi berproses dengan jalan terbaik dan ter-aman dari sistem luar yang menggerogoti.

Dalam logika sosiologi, kemampuan individu atau institusi memahami kondisi sosialnya akan menentukan seberapa tepat individu atau institusi tersebut melakukan tindakan penanggapan kondisi sosial itu. Secara umum, kita banyak mendengar kata "ansos" yang kepanjangannya adalah analisis sosial. Nah, inilah instrumen dasar dalam tindakan respons kepada suatu kejadian sosial yang sedang berkembang. Ansos harus tidak sekedar dipahami secara tekstual, namun secara kontekstual dimana realitas berupa asumsi -juga dapat dipahami sebagai prediksi- dan data/fakta akan bergabung, mengalami sinergisitas dan melahirkan sebuah keputusan objektif, tidak lagi subjektif.

Kondisinya, semua itu aku anggap tidak pernah dipahami aleh mereka, atau kita. Yang menguasai kemudian hanyalah asumsi, prediksi yang lebih condong kepada perspektif negatif yang bahkan berkembang menjadi dogma-dogma yang menjalar, menyebar, mempengaruhi alam berpikir bawah sadar manusia-manusia yang memang sama-sama tidak paham apa itu analisis sosial. Dengan mudah, kekurangan data akan ditebas dengan argumen bahwa semua hal yang berhubungan dengan masyarakat hanya dapat diselesaikan oleh para pemegang kekuasaan, yang secara subjektif memberikan judge-judge tak berdasar -ataupun kalau berdasar, dasarnya tidak kuat- karena keterbatasan data. Data yang seharusnya berupa data primer -langsung dari lapangan- tergantikan oleh data sekunder -semisal media- apapun bentuknya. Parahnya, data sekunder yang kebenarannya masih dipertanyakan tersebut lebih dipercayai sebagai fakta nyata daripada data primer yang mungkin memang tidak pernah sama sekali dimiliki oleh para decission maker.

Akhirnya, rekomendasi dari ketidaktepatan logika berpikir ini adalah dengan merekonstruksi pemikiran semua kalangan yang berhubungan dengan pihak pembuat keputusan, sehingga pada masa-masa selanjutnya sejarah yang terukir dari subjek-subjek sejarah tersebut menggema sebagai sejarah gemilang, bukan sejarah kelam yang kita malu untuk mengakuinya. Belum terlambat, insya Allah, hanya kecepatan penangkapan realitas dan perkembangan zaman-lah yang mungkin memperbaiki konstruk berpikir terbalik seperti yang selama ini terjadi.

Kita bukan malaikat

Kita hanya manusia
Tempat salah dan lupa
Tapi, apakah dengan itu kita kan bersembunyi?
dari bayang-0bayang kesalahan?
Manusia terbaik adalah yang segera menyadari kesalahannya
Lalu berusaha memperbaikinya
Dan, hati...hati... kita harus terpautkan untuk bersama
dalam cinta dan semangat
untuk kebaikan dan kemaslahatan umat
(Ivan, 6 september 2008)

Mohon maaf banyak salah, aku mengakuinya. Aku cuma manusia, yang tak akan pernah lepas dari itu semua.
APAKAH KALIAN AKAN MENGAKUI KALAU KALIAN JUGA PUNYA SALAH?????????????

Baca Selengkapnya...

27 Agustus 2008

KONSTRUK PEMIKIRAN
Ivan Andimuhtarom
(Tulisan ini hanya bahan renungan bagi kita yang sering “berpikir”.
Tindakan konkret itu perlu, tetapi pahamilah maknanya agar dirimu dan orang yang merasakan dampak tindakanmu itu mendapatkan pemaknaan yang berarti)

Mengingat sejarah Negara Israel, maka kita akan menemukan fakta bahwa persiapan yang dilakukan orang-orang Yahudi sangat lama. Pada tahun 1882, Dr. Theodor Herzl (tokoh Yahudi yang sangat berpengaruh) menyusun doktrin Zionisme, yang kemudian disistematiskan dalam bukunya “Der Judenstaat” (Negara Yahudi) pada tahun 1896. Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia Pertama di Basel, Swiss tahun 1897. Nah, baru pada 15 Mei 1948-lah Negara Israel dapat berdiri.
Sebenarnya, pendirian Negara Israel ini hanyalah rangkaian besar dari “Program Asli yang Unik” yang terlebih dahulu telah disusun oleh Tasfaac (tokoh Yahudi) pada tahun 1784. Naskah tersebut berisikan tentang agenda besar kaum Yahudi untuk menguasai dunia. Naskah tentang sebuah hasil pemikiran mengerikan yang nyaris sempurna, manual yang memuat dasar teori, sasaran, metode pencapaiannya, untuk mencapai “Kekuasaan Mendunia Kaum Yahudi”. Naskah ini adalah sebuah pemikiran yang ditulis 100-200 tahun lalu yang di kemudian hari sekitar tahun 1905-an, protocol yang terdiri dari 24 naskah itu diterbitkan di Rusia oleh Prof. Nilus, yang dikenal luas sebagai “The Protocol of The Learned Elders of Zion”.
Sesuatu yang patut kita perhatikan dari perilaku kaum Yahudi adalah tahap perencanaan mereka yang begitu rapi dan tidak tergesa-gesa. Untuk membentuk Israel saja, butuh waktu sekitar 50 tahun persiapan, konsolidasi dan perencanaan-perencanaan ke depan dengan agenda-agenda penaklukan dunia. Saudaraku, yang kita lihat sekarang ini adalah contoh konkrit realisasi program mereka dalam protocol Zionis-nya. Lihatlah media massa dunia yang selalu berpihak dan mengarahkan public dunia untuk mendukung kebijakan-kebijakan bejat Israel atas Rakyat Palestina. Tidak hanya itu, globalisasi yang diarahkan (juga) ke Indonesia ini adalah termasuk agenda besar Yahudi untuk menguasai dunia.
***

Ali ra pernah menyampaikan, kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Sepakat??? Lalu, melihat realitas –hedonisme sebagai dampak dari globalisasi, kurangnya pemikiran kritis mahasiswa dsb- di FISIP tercinta ini, apakah yang dapat kita (BEM) lakukan untuk “menghijaukannya”??? Apa kita hanya akan diam tanpa aksi nyata membangun peradaban mulai dari kampus tercinta ini???
BEM, sebagai mandataris DEMA, secara ideal (disesuaikan dengan konteks ke-Indonesia-an) memiliki dua hal pokok yang harus dilaksanakan. Pertama, masalah tanggungjawab. Karena presiden dipilih oleh “rakyat”, maka ia berkewajiban mengerahkan pembantu-pembantunya (kabinet yang dibentuk) untuk melayani dan menampung aspirasi “rakyat” tersebut. Presiden beserta kabinetnya seharusnya memberikan yang terbaik bagi mahasiswa sehingga suara yang mereka berikan saat pemira (Pemilihan umum raya) tiap tahun sekali itu memiliki arti signifikan bagi mereka. Jika hal tersebut dapat dilakukan, apatisme yang selama ini menjangkiti rekan-rekan mahasiswa kita Insya Allah akan lenyap secara otomatis.
Yang ke dua, ada hak yang dapat dilakukan BEM kepada “rakyat”nya. Ini mutlak dilakukan sebagai representasi kekuatan politik BEM bagi mahasiswa. Hak yang dimaksudkan di sini adalah upaya pengarahan dan pembentukan mahasiswa pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai kebenaran serta identitas ke-mahasiswa-an FISIP secara ideal sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi. Yang harus diperhatikan juga adalah bahwa kebijakan BEM harus sesuai arahan presiden yang disinkronkan dengan pihak dekanat, sehingga tidak terjadi miss communication antara mahasiswa, BEM dan dekanat.
Semua hal ideal di muka bumi ini tidaklah mudah, apalagi jika idealisme itu bersumber dari pribadi, maka ia akan lahir dari subjektifitas pribadi yang mungkin tidak mengakomodir kepentingan dan hak-hak individu lain. Oleh karenanya, secara konkrit, idealisme yang harus mulai dibangun pada tubuh BEM FISIP UNS ini adalah idealisme kolektif yang merangkum tiap individu di dalamnya (walaupun secara de jure, kekuasaan menentukan tujuan terletak pada presiden, dan pengurus lain sebagai pembantu presiden harus taat). Dengan idealisme kolektif ini, maka diharapkan pegangan bagi pengurus BEM akan menjadi jelas sehingga tidak ada yang mempertanyakan hakekat ke-ada-an mereka di BEM. Tidak akan ada lagi pengurus yang menanyakan untuk apa? Harus bagaimana? Apa tugas saya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan dengan tegas, penulis kemukakan, hal mendasar untuk mencapai tingkat itu adalah adanya kepahaman kedudukan secara struktural dan kultural, baik dari “orang tua” maupun “adek-adek” yang menjadi keluarga besar BEM FISIP UNS.
Terkait dengan sejarah Israel, maka BEM juga kiranya perlu belajar banyak untuk membuat targetan dan arahan tentang sasaran dan harapan-harapan yang ingin diraih. Kalau memungkinkan, bahkan sampai pada manual yang memuat dasar teori, sasaran, metode pencapaiannya, seperti yang terjadi pada rencana untuk mencapai “Kekuasaan Mendunia Kaum Yahudi”. Detail mengenai proyeksi masa depan dan proyeksi jangka pendek BEM, setidaknya untuk satu tahun kabinet. Walau akan lebih baik lagi jika proyeksi itu adalah proyeksi jangka panjang yang dapat dilaksanakan step by step oleh generasi penerus pada kepengurusan kabinet mendatang. Hasil besar yang ingin dicapai harus disertai perencanaan yang matang. Seberapa matang perencanaan itu akan mempengaruhi hasil dari realisasi kegiatan yang dilakukan. Dan semua hal tersebut tentunya mensyaratkan hal dasar, yaitu kepahaman akan “tujuan besar akhir” yang hendak dicapai.
Mahasiswa, sebagai intelektual muda (khususnya kita sebagai pengurus BEM), seyogianya memiliki obsesi menjadi generasi terbaik dan mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dengan sudut pandang yang benar. Antisipasi terbaik menghadapi masa depan adalah dengan mendefinisikan diri kita sebagai director of change (pemimpin perubahan) bukan semata agent of change. Seperti yang diungkapkan Thomas Kuhn tentang perubahan social, bahwa perubahan masyarakat selalu diawali dari perubahan PARADIGMA BERPIKIR, demikian juga berlaku untuk BEM FISIP. Jika ia memang mencita-itakan sebuah kondisi ideal sebagai institusi atau secara individu untuk berpartisipasi dan berkontribusi bagi masyarakat luas, saat ini ataupun nanti, maka paradigma berpikir yang dibangun juga harus diubah.
Secara konkrit, saat ini yang ada adalah pikiran individu untuk menginterpretasikan makna, “What is BEM?”. Belum ada kesesuaian yang memadai untuk menyamakan langkah gerak menuju perubahan. Tetapi, lagi-lagi belajar dari Israel (yang terkutuk), kita harus menyiapkan perencanaan yang matang dalam menjalankan program dan misi kita walaupun itu dikatakan hanya sebuah program atau misi kecil. Di sinilah proses pembelajaran kita tentang manajemen dan proses menuju the real director of change. Proses perencanaan tersebut dapat dijadikan sarana pengaktualisasian director of change, bukan sekedar mengekor pada beberapa orang tanpa dirinya sendiri memahami apa yang tengah dia lakukan.
Diskusi, yah, itulah yang mungkin kita butuhkan saat ini, dengan segala keterbatasannya. Namun, bukankah tekad akan mengalahkan segala hambatan? Apa lagi yang kita tunggu? FISIP menanti untuk tidak sekedar kita warnai, tetapi kita hiasi pula. FISIP tak sekedar ingin melihat eksistensi kita, tetapi meminta esensi dari semua yang kita lakukan. FISIP tidak sedang menunggu kita untuk diam dalam ketidakpahaman, tetapi menunggu kita bergerak dengan kepahaman yang matang. Sekali lagi, belajarlah dari kaum paling bejat di dunia, Yahudi.
Selamat berproses atas perjuangan hidup yang telah menanti satu langkah di depanmu, bukan nanti saat kau tua, atau bahkan besok. TIDAK! Tetapi SEKARANG!
SEMANGAT SAUDARAKU!!!
AYO MAJUKAN BEM FISIP UNS!!!


Baca Selengkapnya...

26 Agustus 2008

Abadi


Semua hal itu datang, lalu pergi.
Semua hal itu indah lalu rusak dan tidak indah lagi.
Semua hal itu awalnya menyenangkan, lalu beranjak mulai membosankan.
Lalu, apa yang tidak berubah????

Hanya Allah, tentu...
Hanya Dia, maha segala-galanya..
Seorang Kakak pernah menyampaikan, "Allah sudah ADA sebewlum kata ADA itu ADA, dan Dia akan tetap ADA walaupun kata ADA itu sudah tidak ADA lagi."
Subhaanallah...

Ya Allah, aku banyak salah, pada diriku, pada orang-orang di sekitarku, pada semua manusia dan makhluk yang ada di bumi. Ampuni ...HambaMu yang hina dina ini...

Baca Selengkapnya...

HAhhhhh....


haaahhhh...........
"Pembunuhan karakter".
Yah, kalimat ini begitu sangar terdengar karena persepsi kita tentang pembunuhan secara otomatis akan melambung ke arah penghilangan nyawa. Dan memang tidak jauh berbeda, pembunuhan karekter-pun juga berarti menghilangkan "nyawa" karakter seseorang. Hal ini seringkali terlihat kejam dan yang lebih menyakitkan, jika pembunuh karaker itu adalah rekan kita sendiri.

Tentang pembunuhan karkter ini, ada dua hal yang terjadi. Pertama, menyebarkan aib dari korban pembunuhan karakter. Kedua, pengucilan kepada korban, sehingga korban akan merasa sendirian dan tanpa teman.
Banyak faktor yang melatarbelakangi agenda "kejam" ini. Mungkin marah, mungkin tidak se-idealisme, mungkin saingan politik yang harus dimusnahkan, kepentingan pribadi maupun kelompok dan lain sebagainya.
Kasihan korban itu. Entah bagaimana ia menata hari didepannya, kalau ternyata pengorbanannya selama ini telah dihanguskan dalam waktu sekejap.


menangiskah?


diam?


atau bergerak dengan "underground"?


Huwallahhu a'lam......


Baca Selengkapnya...

Aku Tak Tahu...



Kos, ditemani nyamuk-nyamuk kecil yang menggemaskan,

mulai ditulis jam 22.51 pada 29 Juni 2008

Ada banyak perasaan tidak nyaman yang akhir-akhir ini seolah ingin meledak dariku. Walau erupsi-erupsi kecil sudah mulai terjadi sejak beberapa waktu yang agak lama. Aku menyadari kalau ini hanyalah akumulasi kekecewaan ideologisku pada banyak hal. Semua hal yang aku rasakan dan yang terjadi sungguh telah merombak jalan pemikiranku tentang banyak hal. Aku marah, kecewa, sedih, bangga, bahagia dan semuanya seolah tak bertepi, bagai globe dunia yang tanpa ujung.

Apa yang aku alami dan rasakan di FISIP, komsat dan UNS memberiku banyak pelajaran, walau sampai saat ini aku merasa tak pernah punya sosok yang benar-benar bisa membuatku yakin akan posisiku dan amanahku di lingkungan ini. Aku hampir muak dengan kondisi ini sejak lama, sejak semester III yang lalu. “Mereka” hanya berusaha meredamku, tetapi tak pernah bisa benar-benar meredakan kekalutanku. Selalu. mereka selalu hanya memberi jawaban-jawaban normative atas kegelisahan-kegelisahanku, padahal yang aku inginkan adalah kepahaman akan hakikat. Yah, aku ini tipe manusia dengan banyak berpikir. Lalu, mengapa tidak ada yang mau sedikit saja memahamiku?

Fakta yang aku temui di lapangan, menjelaskan dengan gamblang kegelisahan-kegelisahan dan ketidakpuasan pada system yang sedang berjalan ini. Aku sama sekali tidak menyalahkan system ini, ini system yang sudah cukup bagus, tetapi pemaknaan yang diterjemahkan secara parsial inilah yang menurutku mengekang konsep dasar yang seharusnya telah memenuhi akal dan hati nurani manusianya. Ironisnya, mereka yang tidak puas dan mencoba memperbaiki system ini selalu terhalang oleh birokrasi. Pada umumnya, orang yang masuk dalam system ini merasa bahwa apapun yang terjadi bukanlah urusannya, semua sudah diatur oleh “tetua langit”. Namun, apakah benar demikian? Buktinya, FISIP tidak berkembang (lihat BEM), BEM UNS juga mengalami degradasi yang menurutku cukup signifikan.

Ini memang hanya kegelisahan. Aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah ada orang lain yang punya perasaan yang sama denganku? Yang merasa bahwa ada yang harus sedikit di-inovasi? Lalu sadar jika melakukan perbaikan akan banyak tantangan di depan yang sangat mungkin menimbulkan luapan tangis dan perih hati tak terhingga? Jika ada, maka aku akan mengajaknya merubah ketidakjelasan ini dengan manual kerja jelas, bahwa kita ingin menunjukkan kepada FISIP, UNS, Jawa Tengah dan Indonesia, bahwa orang-orang Islam yang mengelola institusi adalah orang-orang dengan pemikiran dan kerja-kerja besar. Bahwa inilah realisasi paling konkret dari konsep “Islam, rahmatan lil ‘alamin”. Hal yang mungkin terlalu abstrak, tetapi begitu nyata bagiku setelah pencarinku selama ini.

Aku memang tidak dilahirkan dalam kondisi keluarga yang taat beragama, ini prosesku menuju arti keislamanku. Oleh karenanya, tidak mudah bagiku untuk begitu saja percaya pada apa-apa tanpa dalil yang kuat lagi menguatkan. Aku sadar, bahwa akulah orang dengan level “terbawah” dalam hierarki jama’ah ini, tetapi, tak adakah sedikit ruang bagiku untuk berkontribusi?

Saudaraku, aku sudah banyak mengungkapkan semua ini dan aku kebingungan kemana lagi aku harus menngungkapkan semua ini. Masih banyak, sangat banyak mungkin, hal-hal yang ingin aku lakukan. Tetapi, pada detik ini, yang terlihat jelas adalah, bahwa aku tidak punya partner kerja yang sesuai. Aku, sudah terlanjur kalian stigmakan sebagai manusia pembangkang, yang tidak taat kepada qiyadah dsb. Tetapi, tahukah kalian, jika aku saat ini menjadi apa yang kalian pikirkan terhadapku. Aku menjadi benar-benar tidak taat karena kalian telah membuatku seperti ini. Ini bukan masalah justifikasi atas “pembangkangan” yang aku lakukan. Aku hanya tidak paham. Tetapi, mengapa tidak ada yang bersedia mengingatkan? Memberikan penjelasan? Mengapa kalian selalu bilang ini proses? Selalu mengatakan bahwa akulah pihak yang salah dan kalian tidak pernah salah?

Apakah kau tahu apa yang aku takutkan? Aku takut kalau aku tidak bisa menahan diriku untuk pergi dari sini. Aku takut kalau aku akan benar-benar pergi meninggalkan semua ini tanpa pamit bahkan, dan aku tidak bisa memberikan apa-apa selain kemarahan, kekecewaan dan kegelisahan yang tak akan lagi pernah terjawab. Aku takut jika suatu saat nanti aku bergabung dengan barisan kekecewaan, yang mungkin akan menghalangi dan mengacaukan system ini. Aku takut jika adik-adik akan jadi korban dari kesalahanku.

Aku sampaikan kepadamu, bahwa aku sedang mencari ruang untuk membenahi semua ini. Membenahi diriku dan kondisi libgkunganku. Aku melakukan sindikasi dan penguatan jaringan dengan orang-orang semacamku. Ini bukan rahasia lagi. Aku sudah lelah berpura-pura. Kini, tidak ada lagi perasaan “sungkan”. Perasaan itu sudah aku kubur. Karena kalian juga. Kalau saat kemarin kalian bunuh karakterku dengan menyatakan bahwa aku melakukan indoktrinasi di hadapan adek-adek, padahal tidak. Maka, sekarang, aku akan menjadi indoktriner sebenarnya.



Wassalaamu’alaikum

Baca Selengkapnya...

25 Agustus 2008

Menilik Ulang Gerakan Mahasiswa

Ivan Andimuhtarom

Kalimat-kalimat yang kadangkala sloganistis masih terus dipercaya melekat dalam diri gerakan mahasiswa. Semisal agent of change, iron stock atau yang lainnya. Gelaran seperti itu, hendaknya bukan hanya sebuah teriakan kosong tanpa makna dan aplikasi. Gerakan mahasiswa secara organis harus terus berfikir tentang efektivitas strategi dan taktis [stratak] gerakan, terutama ketika struktur sosial, politik dan ekonomi bangsa tengah mengalami perubahan seperti saat ini.

Gerakan mahasiswa dalam perjalanannya selama berpuluh tahun ini telah memberikan kontribusi riil bagi bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde Baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Pada awalnya, gerakan-gerakan mahasiswa secara umum mengedepankan areal “intelektual” dalam mengaspirasikan dan mewujudkan gerakannya. Gerakan intelektual ini tercermin dari kegiatan yang selalu mengacu kepada kedewasaan berpikir dan penggunaan data objektif dalam menanggapi masalah. Diskusi-diskusi kritis tentang isu dan wacana menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian para aktivis gerakan mahasiswa ini. Perkembangan lanjutan dari dialektika wacana tersebut kemudian berkembang pada ruang-ruang praksis sebagai aksi nyata dalam merespon problematika kebangsaan dan kemasyarakatan.

Tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap persoalan masyarakat menurut Arbi Sanit (1985) disebabkan paling tidak oleh lima hal. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa memiliki pandangan cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai golongan masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda lainnya. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian berbagai permasalahan masyarakat memungkinkan mereka memasuki forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karir sesuai dengan keahliannya.

Pada proses menuju kontribusi real ini, terdapat beberapa langkah praktis yang berjenjang. Pertama afiliasi, yaitu masuk dalam salah satu atau beberapa jejaring gerakan mahasiswa. Sebagai contoh adalah ikut serta menjadi bagian dari gerakan ekstra kampus seperti KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) atau gerakan intra kampus semisal BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Kedua partisipasi. Dalam konteks nyata, setelah seseorang tergabung dalam sebuah organisasi, maka secara otomatis dia harus turut serta dalam kegiatan organsasi tersebut. Terakhir, kontribusi. Mulailah kita dapat memberikan sumbangan (berupa harta, tenaga dan pemikiran sekecil apapun ukurannya) kita baik kepada organisasi maupun Indonesia pada umumnya. Logika ini berjalan pada hampir semua gerakan mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus.

Saat ini, harus diakui bahwa aksi turun ke jalan yang pernah meruntuhkan rezim otoriter Suharto dan Abdurrahman Wahid mulai tidak didengarkan oleh pemerintah. Aksi-aksi tersebut mengalami polarisasi gerakan. Tidak didapati lagi gerakan serentak oleh elemen-elemen mahasiswa di Indonesia. Aksi-aksi biasanya hanya dilakukan secara parsial pada wilayah tertentu saja. Lihatlah aksi-aksi BEM yang kini pesertanya biasanya tidak lebih dari 100 orang. Lihat bagaimana reaksi pemerintah menanggapi arus demonstrasi ”keci” tersebut. Semua itu hanya usikan kecil yang dipandang tidak akan ”melukai” pemerintah, dan akhirnya dibiarkan begitu saja. Di sisi lain, pemerintah mulai menutup alat indranya untuk mengetahui kesengsaraan rakyat yang diaspirasikan mahasiswa.

Apakah kita sekarang kehilangan format gerakan yang mumpuni? Gerakan mahasiswa mulai kendur, ruh-ruh perjuangan mulai hilang. Kita kebingungan karena pola-pola lama semisal demonstrasi sudah tidak populer, justru memberikan citra negatif karena masyarakat sudah latah dengan anarkhisme demonstrasi. Apakah semua itu karena keran demokrasi yang telah dibuka lebar ini? Sehingga kekritisan mahasiswa mengendap, tiarap, dan mati suri? Mungkin semua ini adalah pertanyaan retoris bagi para aktivis gerakan yang masih memikirkan generasi masa depan.

Sebenarnya, analisa mengenai polarisasi ini telah muncul pasca keruntuhan Suharto, hampir tiap elemen akhirnya memilih jalannya sendiri untuk diperjuangkan. Hasilnya, justru tak ada yang cukup signifikan. Semua sibuk dengan agenda parsial yang kadang tidak populer.

Faktor penyebab kelesuan gerakan mahasiswa pasca reformasi ini adalah tidak adanya sinkronisasi agenda gerakan. Faktor-faktor penyebab khusus yang melatarbelakangi ketidaksinkronan gerakan mahasiwa saat ini antara lain adalah idealisme gerakan mahasiswa yang berbeda-beda. Idealisme ini kemudian melahirkan cara pandang dan penyikapan yang berbeda dalam menghadapai masalah kebangsaan. Karena isu yang diangkat tidak sama, mereka cenderung sporadis dalam melaksanakan agenda gerakannya. Yang agak parah adalah egosentrisme gerakan, yang membuat fanatisme berlebih, bahkan justru mengintimidir kelompok gerakan lain. Pada akhirnya, perbedaan kepentingan tersebut justru menimbulkan ekses negative dengan tidak terwujudnya agenda-agenda perbaikan Indonesia.

Namun, jangan ada stigma negative terlebih dahulu dalam memandang gerakan mahasiswa saat ini. Mahasiswa -pada umumnya- seharusnya tidak memandang perbedaan tersebut sebagai halangan untuk berkontribusi real kepada bangsa Indonesia. Karena, secara langsung maupun tidak langsung, menjadi bagian dari gerakan mahasiswa merupakan langkah awal menjadi bagian dari perbaikan Indonesia di masa mendatang.

Maka, babak baru sejarah gerakan mahasiswa harus segera diupayakan. Tak lain dan tak bukan, nasib bangsa ini tergantung kepada generasi mudanya, mahasiswa. Mulai saat ini, mulailah melakukan sesuatu untuk Indonesia walau sekecil apapun bentuknya. BerAFILIASIlah, kemudian berPARTISIPASI dan akhirnya kalian akan berKONTRIBUSI untuk Indonesia. Wahai para mahasiswa, katakan dan tunjukkan bahwa kalian bukan sekedar agent of change atau iron stock saja, melainkan director of change bagi perbaikan di Indonesia ini! HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT! MERDEKA!!!

Baca Selengkapnya...